The effect of burnout on healthcare workers and on the patient’s safety

Dalton Ngangi
11 min readAug 1, 2022

This research has the intention to look for the mediated effect of burnout on healthcare workers against patient’s safety. Respondents of this study were the healthcare workers of the Hospital of Mother and Child Kartini Padalarang. The testing of the hypothesis was conducted by using quantative research method with the total sample of 100 healthcare workers. Datas were collected through electronic questionnaires that were given digitally to the respondents. The analysis technique that was used was the Partial Least Square — Structural Equation Modelling (PLS-SEM) from the SmartPLS program. Based on the analyzed data, it was found that there was a significant effect of workload and healthcare workers against the patient’s safety and that healthcare workers had an important role in mediating it. Based on this research’s result, it was found that the workload has a significant negative effect on the patient’s safety, burnout on healthcare providers has no effect on patient’s safety and the healthcare workers have a positive effect on the patient’s safety. The Hospital of Mother and Child Kartini Padalarang needs to consider improving th wellbeing and professionality of the healthcare workers in order to keep the job satisfaction well maintained. The Hospital of Mother and Child Kartini Padalarang also needs to hold a good working relationship with the healthcare workers and the patients, so that the patient’s satisfaction and safety are well maintained.

Beban kerja pada dasarnya merupakan daftar tugas atau kegiatan yang dituntut atau lebih tepatnya diharapkan dari pemberi kerja ke pekerja, Rini-Tarwaka (2018) & Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (2008). Beban kerja disini sebenarnya merupakan hal yang positif namun baru menjadi sebuah masalah ketika sudah menjadi terlalu berlebihan dan berat hingga mengakibatkan beberapa efek negatif ke pekerja dan konsumen. Overload (burnout) terjadi bila intensitas beban yang terlalu berat sedangkan kebosanan, rasa jenuh atau understress terjadi bila intensitas beban yang rendah.

Jika dilihat dari aktivitasnya, beban kerja seseorang dapat meliputi mulai dari kegiatan personalnya sampai ke pekerjaan pokoknya yang bersifat langsung atau yang tidak langsung, Ilyas (2004). Menurut Franklin Covey burnout sendiri mencakup sekitar 80% yang berasal dari organisasi dan 20% yang berasal dari faktor individual masing-masing.

Dalam sebuah penelitian di Harvard yang dilansir oleh LANCET ditemukan bahwa sebanyak 61% dokter mengalami burnout dan sempat berpikir, mencoba, atau telah meninggal oleh karena bunuh diri. Keadaan ini lebih parah bagi para perawat yang mencapai hingga 80% melaporkan mengalami tanda-tanda atau gejala dari burnout.

Kebanyakan dari keluhan yang dialami oleh tenaga kesehatan ini ada pada ikatan pekerjaan mereka yang berhubungan dengan alat-alat elektronik seperti Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) atau pesan dan panggilan dari handphone yang sudah tidak mengenal batas pekerjaan dengan kehidupan pribadi lagi.

Namun di sisi lain tenaga kesehatan perlahan juga kehilangan peran autonomynya dengan datangnya peran pemerintah dan perusahaan asuransi yang memiliki kepentingan atau motif yang tidak se-altruistik tenaga kesehatan itu sendiri. Ditambah lagi dengan berubahnya karakter pasien yang lebih kritis dan mudah tersugesti oleh berita hoax di internet, semua hal ini menambahkan beban terhadap tenaga kesehatan khususnya dokter. Namun sayangnya karena tidak banyak yang mengangkat isu ini secara profesional di tempat kerja maupun di akamedik, secara tidak langsung tenaga kesehatan dewasa ini telah menganggap hal ini menjadi hal yang biasa atau lumrah di dunia kesehatan, seperti fenomena refleks Semmelweis yaitu kecenderungan untuk menolak suatu bukti kejadian atau fakta baru yang melawan tradisi/ kebiasaan/ paradigma lama yang ada. Seakan-akan memang sudah normalnya dunia kesehatan identik dengan burnout atau stres level yang tinggi.

Beban kerja tenaga kesehatan di tengah pandemi tidak dipungkiri akan terasa lebih berat, hal ini sangat terjabarkan melalui kekurangan tenaga ahli terutama dalam bidang virologi, kurangnya spesialis paru, kurangnya peralatan deteksi dan diagnosa dikarenakan harganya yang sangat mahal, kurangnya laboratorium yang canggih, belum lagi biaya yang meninggi karena banyaknya penggunaan bahan habis pakai, ditambah lagi pemeriksaan hasil lab yang lama dan mahal, dan yang paling sering adalah terjadinya kasus pengambilan sampel yang kurang handal sehingga menimbulkan negatif palsu pada infeksi Covid-19. Sehingga RS harus berjuang agar dapat terciptanya tempat kerja yang aman, nyaman, dan bebas kecelakaan. Selama masa pandemi Covid-19, RS harus semakin memperkuat rencana kerja untuk seluruh karyawan yang mencakup kebersihan dan keselamatan pribadi, menjaga jarak, pengujian bergilir, dan bimbingan medis.

Menurut Mujiati & Yuyun Yuniar (2016). Salah satu dampak dari berlebihan beban kerja adalah kelalaian. Menurut Chiara Conti et al, dampak burnout atau stres berlebih pada tenaga medis terutama di tengah situasi yang sulit di prediksi seperti pandemik dan menurunnya motivasi kerja atau daya juang serta kurangnya istirahat atau tidur yang berkualitas dapat meningkatkan risiko terjadinya eror medis yang pada akhirnya mempengaruhi keselamatan pasien yang dilayani.

Berdasarkan Pahlevi (2013), beban kerja tenaga kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor antara lain 1) tugas pokok, 2) waktu kerja, 3) tugas tambahan dan 4) jumlah kunjungan. Menurut Schultz dan Schultz (2010), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi beban kerja adalah time pressure (tekanan waktu), jadwal kerja dan jam kerja, ambiguitas pekerjaan, kebisingannya, informasi yang berlebihan, suhu yang ekstrim atau panas, tindakan berulang, aspek ergonomi dalam lay out tempat kerjanya.

Memimpin dan mengelola rumah sakit di era krisis membutuhkan keterampilan khusus. Manajemen rumah sakit harus bisa menunjukkan bahwa pelayanan tetap dapat berjalan dengan safety protocol yang meyakinkan, salah satu caranya adalah dengan melakukan analisa beban kerja pada sumber daya manusia (SDM) yang ada. Hal ini sesuai dengan temuan disertasi Hartono, Budi (2011) melalui Mission Achievement Tools in Hospital (MATH) model dari The Joint Commission, 2008.

Penilaian keselamatan pasien biasanya didapatkan dari 5 hasil akhir pelayanan seperti: infeksi, luka, eror, komplikasi lanjutan, dan meninggal. Tantangan yang hadir disini adalah bagaimana jangan sampai terjadi kejadian-kejadian diatas. Tenaga kesehatan dihadapi oleh trend pekerjaan yang semakin lama semakin berat dan berbahaya, apalagi dengan meningkatnya tuntutan akan pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi.

Terdapat lima konsep utama untuk meningkatakan keselamatan pasien:

1. Reformasi..pendidikan..kedokteran.

2. Layanan. disediakan..oleh..tim yang..memiliki disiplin ilmu yang..bervariasi..dan..saling..terintegrasi..kedalam..satu platform.

3. Tenaga..medis..perlu..bekerja di..lingkungan..kerja..yang aman..dan..dapat menemukan kesenangan dan makna yang berarti dalam pekerjaannya.

4. Pasien harus..dapat menjadi mitra dalam merancang dan memberikan..pelayanan.

5. Transparansi..merupakan..dasar nilai..utama..dalam..setiap

Beberapa komponen penting pelayanan kesehatan yang berkualitas meliputi segi keamanan, efektivitas, pendekatan patient-centered, tepat waktu, efisien, dan kepedulian yang aktif dan aman. Menurut George (2017), hampir jutaan pasien meninggal tiap tahunnya dikarenakan pelayanan kesehatan yang kurang aman. Peningkatan pedoman-pedoman yang semakin banyak tidak akan efektif tanpa diikuti juga dengan tenaga kesehatan yang lebih berkualifikasi dan handal.

Pasien yang berada di perawatan ruang ICU (Intensive Care Unit) cenderung lebih sering menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan isu keselamatan. Alat-alat canggih baru, metode pengobatan terupdate, dan kondisi pasien yang tidak stabil dan tidak dapat diprediksi akan menambahkan beban kerja yang berlebih kepada para tenaga kesehatan. Hal yang sama juga terjadi di ruang perawatan NICU (Neonatal Intensive Care Unit).

Menurut Shoorideh, 2021, oleh karena itu dalam situasi stres tingkat tinggi seperti diatas, penting untuk para tenaga kesehatan untuk kembali ke dasar setiap prosedur tindakan tahap demi tahap untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan terutama saat sedang melakukan tindakan invasif yang emergency dan perlu dilakukan dengan cepat. Metode yang tepat dalam hal ini adalah dengan menggunakan checklist prosedur yang diobservasi oleh 2 orang untuk menghindari bias individu.

Satu situasi yang sering ditemukkan sebagai penyebab awal seringnya terjadinya kesalahan dalam keselamatan pasien adalah saat sedang melakukan transfer pasien dari satu ruangan ke ruangan lain. Disini aspek yang berperan besar adalah komunikasi yang jelas dan efektif, karena suksesnya kelanjutan rencana terapi dari satu tim tenaga kesehatan ke tim lain berada pada lengkapnya informasi yang disampaikan antara satu tim dengan yang lainnya.

Demi terciptanya pengawasan keselamatan pasien yang berkelanjutan, biasanya tim pengawas dari RS akan melakukan beberapa pengawasan dan penilaian terhadap beberapa indikator kinerja medis dan klinis yang meliputi:

· Kepuasan pasien

· Tingkat insiden klinis yang merugikan

· Tingkat infeksi terkait perawatan kesehatan

· Tingkat morbiditas

· Angka kematian pasien rawat inap

· Prosedur operasi yang direncanakan dan yang tidak direncanakan

Indonesia merupakan salah satu dari 57 negara yang kekurangan tenaga kesehatan. Meskipun 80 persen keberhasilan pembangunan kesehatan adalah ditentukan SDMK. Kurangnya SDMK di Indonesia sebenarnya bisa dimaknai lebih dari hanya sekedar kurangnya jumlah SDMK tapi lebih sering karena distribusi yang tidak merata. Pada tahun 2019 diharapkan ketersediaan tenaga dokter spesialis mencapai 24 per 100.000 orang penduduk, dokter umum 96 per 100.000 penduduk, dokter gigi 11 per 100.000 penduduk, perawat 158 per 100.000 penduduk, bidan 75 per 100.000 penduduk, sanitarian 30 per 100.000 penduduk, tenaga gizi 48 per 100.000 penduduk. (Arman Rifat Lette, 2020).

Salah satu poin dalam konsep TERRA pada pelayanan kesehatan yang paling diandalkan dari seorang tenaga medis adalah aspek ‘Responsiveness’. Menurut Yudo Setiawan dkk. (2017) tenaga kesehatan bersedia memberikan pelayanan medis kesehatan yang cepat dan tepat kepada pasien yang berkunjung, karena kecepatan dan ketepatan pelayanan akan mempengaruhi kepuasan pasien. Responsiveness pasien dapat juga digunakan sebagai alat dalam menentukan kinerja pelayanan kesehatan rumah sakit dari perspektif SDM. Tantangan selanjutnya yang dihadapi oleh para tenaga medis adalah menjaga kualitas layanan atau mutu selalu optimal. Oleh karena itu mutu pelayanan kesehatan untuk standar profesi perlu dijaga dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada secara baik, sehingga kebutuhan pelanggan dan tujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dapat tercapai. (Anita Santi Widyastuti, 2013).

Tenaga kesehatan dalam bersikap juga tidak boleh teledor atau sembarangan untuk mencegah kelalaian medik. Jika dilihat dari faktor penyebabnya maka dapat dibagi menjadi 3: Kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman, dan kurangnya pengertian (C. Berkhouwer dan L. D. Vorstman). Menurut (Jongkers) terdapat 4 unsur kelalaian:

1. Bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid)

2. Akibat perbuatan yang bisa dibayangkan (voorzeinbaarheid)

3. Akibat perbuatan sebenarnya bisa dihindari (vermijdbarrheid)

4. Perbuatan dapat dipersalahkan kepadanya (vermijtbaarheid), karena sebenarnya pelaku sudah dapat membayangkan dan dapat menghindarinya.

Menurut Simon Sinek, (2014). Saat kita bicara mengenai tenaga kerja kita sebenarnya sedang membicarakan manusia dan bukan robot/machine, ini penting sekali untuk diingat karena terkadang dalam aspek bisnis kita terlalu terbiasa berbicara mengenai efisiensi dan efektivitas sampai-sampai kita lupa bahwa pekerja dalam hal ini tenaga kesehatan juga adalah manusia biasa yang dapat berbuat salah, mereka adalah orangtua, anak, dan saudara bagi

keluarganya masing-masing. Untuk itu sudahlah menjadi tanggung jawab para pemimpin rumah sakit dalam menyeimbangkan aspek pelayanan rumah sakit dengan aspek kehidupan tenaga medis agar tercipta suatu keharmonisan dalam lingkungan RS untuk jangka panjang. Organisasi yang baik adalah organisasi yang jika mendapati pegawainya bersalah dapat menjalani hukuman dengan terhormat dan tidak berarti akan sampai kehilangan pekerjaannya. Jika setiap orang yang bekerja selalu merasa takut setiap kali mereka bekerja maka itu merupakan suatu lingkungan kerja yang tidak aman.

Tenaga medis juga adalah manusia biasa yang memiliki sifat dan karakter serta keterbatasan tenaga masing-masing. Ini tentu akan mempengaruhi kepuasan pasien. Salah satu masalah yang kerap dijumpai oleh pasien adalah kurangnya tenaga medis, sehingga pelayanan menjadi terhambat, hal ini terkadang kontradiktif dengan perhitungan manajemen RS dalam pengukuran ratio pasien: tenaga medis yang sering dirasakan cukup, namun pada kenyataannya dikarenakan banyaknya prosedur dalam menangani satu pasien tertentu akan dapat mengakibatkan pasien baru tidak terlayani atau pasien transfer baru ke rawat jalan tidak disambut oleh tenaga medis di ruang perawatan.

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Kartini Padalarang yang berlokasi di Padalarang, Bandung Barat. RSIA Kartini Padalarang merupakan salah satu rumah sakit swasta terpercaya di Padalarang yang mengedepankan kualitas pelayanan sebagai nilai jualnya, berawal dari sebuah klinik bersalin kini RSIA Kartini Padalarang terus berkembang dan memiliki target untuk menjadi Rumah Sakit Umum, dengan meningkatnya kebutuhan minat (demand) dari masyarakat akan fasilitas Rumah Sakit yang masih kurang di daerah Bandung Barat terutama Padalarang, manajemen RSIA Kartini Padalarang bekerjasama dengan beberapa Investor untuk mengembangkan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) yang lebih besar lagi di daerah Kota Baru Parahyangan yang dinamakan RSIA Parahyangan. Melihat fenomena strategis bisnis ini maka manajemen RS dihadapkan akan persiapan jumlah tenaga medis yang cukup dan berkualitas dalam jangka waktu panjang ini. Maka diharapkan akan dapat terjadi beberapa perkembangan ke arah yang lebih baik mulai dari aspek manajemen sampai ke pelayanan kesehatan.

Penelitian ini menggunakan kuesioner, yang diberikan kepada 100 responden dengan karakteristik seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan dan lama bekerja. dari 100 responden terbagi menjadi laki-laki sebanyak 16 % dan perempuan 84% atau laki-laki sebanyak 16 orang dan perempuan 84 orang. Hasil menunjukkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin perempuan. dari 100 responden terbagi menjadi 4 kelompok umur yaitu umur 20–30 tahun sebanyak 12 orang atau 12%, 31–40 tahun sebanyak 16 orang atau 16 %, 41–50 tahun sebanyak 37 orang atau 37%, dan 51–60 tahun sebanyak 35 orang atau 35%. Hasil menunjukkan jumlah responden mayoritas pada umur 41–50 tahun yaitu usia dewasa tua. Dari 100 responden terbagi tiga kategori tingkat pendidikan yaitu D3 sebanyak 57 orang atau 57%, S1 sebanyak17 orang atau 17% dan profesi sebanyak 26 orang atau 26%. Hasil menunjukkan bahwa mayoritas responden dengan tingkat pendidikan D3 atau Diploma 3. Dari 100 responden terbagi menjadi 6 kategori waktu lama bekerja yaitu 1–5 tahun sebanyak 21 orang atau 21%, 6–10 tahun sebanyak 22 orang atau 22%, 11–15 tahun sebanyak 17 orang atau 17%, 16–20 tahun sebanyak 7 orang atau 7%, 21–25 tahun sebanyak 24 orang atau 24%, 26–30 tahun sebanyak 9 orang atau 9%. Hasil menunjukkan bahwa mayoritas responden bekerja 21–25 tahun.

Pengaruh Burnout beban kerja terhadap Keselamatan Pasien (H1).

Hasil pengujian hipotesis (H1) diterima dengan ditunjukkan nilai p value 0,013< 0,05 hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif dan signifikan Burnout (beban kerja) terhadap keselamatan pasien. Sehingga dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya burnout (beban kerja) maka akan menurunkan keselamatan pasien.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Munthe, 2019) dan (Mulyatoi et al.,2016) bahwa burnout (beban kerja) memiliki hubungan yang bermakna terhadap keselamatan pasien. Adanya beban kerja seperti tuntutan kerja yang berplebih, bingung dalam melakukan perintah atasan, dan banyaknya pasien dapat menjadikan stress pekerjaan sehingga dapat menurunkan kondisi fisik, psikologis sehingga dapat menurunkan pemberian pelayanan kesehatan pada pasien. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aiken et al dalam (Farquharson et al.,2013) bahwa dengan adanya beban kerja yang tinggi akan mengakibatkan kurang optimal dalam pemberian pelayanan bagi pasien sehingga meningkatkan pelanggaran terkait keselamatan pasien.

Pengaruh Mediasi Burnout Beban Kerja Pada Tenaga Medis Terhadap Keselamatan Pasien (H2).

Hasil pengujian hipotesis (H2) ditolak hal ini ditunjukkan dengan nilai p value 0,073 > 0,05 yang artinya tidak ada pengaruh antara burnout (beban kerja) yang dimediasi tenaga medis terhadap keselamatan pasien. Pada penelitian ini burnout pada tenaga medis tidak dirasakan. Berdasarkan hasil kuesioner menunjukkan bahwa staf karyawan saling membantu jika ada pekerjaan yang berlebih. Hal ini bisa dikaitkan bahwa responden mayoritas memiliki pengalaman bekerja selama 21–25 tahun, mesikipun dengan adanya beban kerja yang tinggi dan pekerjaan yang sibuk namun tidak membuat tenaga medis merasa beban. Semakin lama masa kerja seorang karyawan akan semakin baik dalam bekerja, selain itu dengan masa kerja yang lama akan memberikan pengalaman kerja yang baik. Menurut Munandar bahwa dengan pengalaman kerja lebih dari 5 tahun tidak akan memberikan dampak pada produktivitas kerja tenaga medis. Penelitian ini juga dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan responden. Bahwa tenaga medis memiliki tingkat pendidikan sesuai dengan tupoksi atau bidang mereka masing-masing sehingga tidak akan menimbulkan burnout pada tenaga medis. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Astriana dan Sidin (2014) yang manyatakan bahwa tenaga kesehatan yang memiliki tingkat pendidikan memadai sesuai profesi akan memiliki kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan untuk pelayanan kesehatan demi keselamatan pasien.

Pengaruh Tenaga Medis Terhadap Keselamatan Pasien (H3).

Hasil penelitian hipotesis (H3) diterima, hal ini ditunjukkan dengan nilai p value 0,000 < 0,05 yang artinya ada pengaruh positif dan signifikan antara tenaga medis terhadap keselamatan pasien. Hal ini ditunjukkan dengan hasil jawaban responden dalam penelitian bahwa tenaga medis sangat memperhatikan keselamatan pasien, ini juga ditunjukkan bahwa dengan adanya kerjasama antara tenaga medis dalam memberikan pelayanan kesehatan demi keselamatan pasien dilakukan di RSIA. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Eriyono dan Hananto (2017), bahwa dengan adanya kolaborasi tenaga kesehatan memberikan pengaruh yang positif terhadap sasaran keselamatan pasien.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian dan analisis efek mediasi burnout pada tenaga medis terhadap keselamatan pasien di Rumah Sakit Ibu dan Anak Kartini Padalarang maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Burnout (beban kerja) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap keselamatan pasien terbukti dengan nilai signifikansi 0,013 <0,05

2. Burnout pada tenaga medis tidak ada pengaruh terhadap keselamatan pasien, hal ini terbukti dengan nilai signifikansi 0,073 > 0,05.

3. Tenaga medis berpengaruh positif dan signifikan terhadap keselamatan pasien hal ini terbukti dengan nilai signifikansi 0,000<0,05.

Saran

Penelitian ini terdapat beberapa saran yang dapat digunakan oleh pihak manajemen rumah sakit atau untuk penelitian selanjutnya. Saran tersebut sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti selanjutnya

Berdasarkan penelitian ini, diharapkan untuk penelitian selanjutnya meneliti variabel lain yang dapat mempengaruhi keselamatan pasien, karena pada penelitian ini pengaruh keselamatan pasien adalah tenaga medis dan burnout (beban kerja).

2. Bagi Rumah Sakit

Pada penelitian ini bahwa burnout (beban kerja) yang di mediasi oleh tenaga medis ini tidak ada pengaruh terhadap keselamatan pasien. Hal ini sudah baik dengan adanya kerjasama tim dan lperlu lebih ditingkatkan demi pelayanan kepada pasien dan keselamatan pasien.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Dalton Ngangi
Dalton Ngangi

Written by Dalton Ngangi

Things I've learned worth sharing

No responses yet

Write a response